Oleh: Andi Wahyuni Muzakkir, Ketua Umum Kohati Badko HMI Kaltimtara
Di saat kekerasan terhadap kaum hawa atau perempuan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara terus menunjukkan angka melesat yang mengkhawatirkan, kita malah menyaksikan mahasiswa dan mahasiswi yang seharusnya menjadi agen perubahan sosial terlena dalam euforia politik praktis.
Di hari Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, justru alih-alih berfokus pada kampanye yang mengatasi masalah sosial yang nyata dan mendesak, justru lebih sibuk mengampanyekan pasangan calon dalam perhelatan yang akan datang dengan fanatik. Tentu saja, ini bukan hanya ironis, tetapi juga membingungkan.
Jika kita berbicara soal kekerasan terhadap perempuan, ini bukan sekadar “isu” atau “agenda” yang bisa ditunda. Ini adalah kekerasan yang menghancurkan kehidupan, menghancurkan martabat, dan merusak masa depan bangsa. Namun, tidak sedikit yang lebih memilih bergabung dalam hiruk-pikuk politik demi ambisi kemenangan semata. Apa yang hilang di sini? Empati.
Sebagai intelektual muda, mahasiswa dan mahasiswi seharusnya bisa lebih cerdas dalam memilih medan perjuangan. Jika kita hanya mengejar kemenangan politik dalam pemilu, lalu siapa yang akan berjuang untuk perempuan yang menjadi korban kekerasan setiap hari?
“Politik kekuasaan tanpa kemanusiaan adalah politik kosong.”
Seharusnya, mahasiswa tidak hanya hadir di ruang kampus dan ruang-ruang diskusi untuk mendebatkan siapa yang layak menjadi Kepala Daerah, tetapi juga untuk berteriak lantang untuk perubahan sosial yang lebih mendalam, berdiri di depan, mendesak perubahan, dan bukan sekadar menjadi pion dalam permainan kekuasaan.
Lebih dari itu, kampanye kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah perlawanan terhadap budaya patriarki yang telah mengakar dalam masyarakat kita. Dan jika mahasiswa/i tidak bersuara dan lebih tertarik pada kalkulasi politik, siapa yang akan memperjuangkan hak-hak perempuan yang selama ini terpinggirkan?
“Jika mahasiswa hanya peduli pada siapa yang akan menang dalam pemilu, maka mereka telah menyerah pada sistem yang menciptakan ketidakadilan.”
Tidak ada alasan untuk tidak berperan aktif dalam kedua hal ini: kampanye untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan pemilu yang lebih adil. Politik praktis tak seharusnya menutup mata kita terhadap keadilan yang lebih besar. Kita tidak bisa memilih antara satu atau yang lain.
Keduanya harus dijalankan bersamaan, karena perjuangan untuk perempuan adalah perjuangan untuk kemanusiaan itu sendiri.
Kami mendesak mahasiswa untuk kembali ke jalur yang benar. Kampanye kekerasan terhadap perempuan bukan hanya tentang statistik atau pidato kosong. Ini adalah soal kehidupan dan martabat Perempuan. (*/)