Samarinda, Busam.ID – Sebanyak 17 pemuda asal Sumatera Utara, lari dari lokasi kerjanya di Kutim sebab gaji yang tak sesuai janji. Mereka kini berada di Rumah Singgah Terpadu (RST) di Jl DI Panjaitan Samarinda.
Satu dari pekerja tersebut bernama Daniel, pada media ini menyampaikan mereka tiba di Rumah Singgah Terpadu Samarinda pada Kamis (11/5/23). Daniel yang mengaku berasal dari Kota Kisaran Sumatera Utara menyampaikan, mereka dibawa ke Kaltim oleh PT Permata Hijau Khatulistiwa untuk bekerja sebagai penanam sekaligus merawat tanaman akasia dengan lokasi kerja di daerah Kabupaten Kutai Timur, Kecamatan Batu Ampar Desa Mawar Indah.
“Kami ada 17 orang, semuanya dari Sumatera Utara. Berangkat dari Sumatera tanggal 12 Maret 2023,” ucap Daniel.
Menurut Daniel, ia dan temannya 16 pekerja lainnya, awalnya dijanjikan kerja dengan upah Rp200 ribu per hari, dalam realisasinya mereka diupah Rp2,4 juta selama 22 hari kerja.
“Kami dijanjikan upah sebesar Rp 200 ribu per hari, fasilitas mess ber-ac, kolam renang dan lainnya. Upah akan diibayarkan setiap 2 minggu sekali. Ternyata upah kami diberikan setelah 22 hari kerja dan itu pun hanya Rp2,4 juta. Upah segitu habis buat kami bayar uang pinjaman dan bon bersama untuk makan sehari-hari,” papar Daniel.
Setelah bekerja selama 1 bulan, Daniel mengaku bahwa dirinya bersama 16 pekerja lainnya kaget saat menerima laporan gaji mereka. Karena dalam laporan gaji itu terdapat bunga sebesar 15 persen dari pinjaman dan bon bersama tersebut.
“Ya tidak ada info di awal juga mas untuk bunga pinjaman itu, taunya pas nerima gaji pertama rupanya upah kami sudah gak ada sisa. Ya pasti kecewa lah, niat merantau cari kerja untuk kebutuhan sehari-hari dan bisa bantu keluarga di kampung, malah tidak ada sisa sekali,” jelasnya.
Ia pun menjelaskan proses keberangkatan dirinya bersama 16 pekerja lainnya dari Sumatera Utara.
“Kemarin tiket pesawat sih semua ditanggung perusahaan. Untuk Perusahaan PT PHK-nya saya rasa tidak salah, yang salah ini kontraktornya yaitu CV Sumber Tiga Bersama. Karena Kepala Rombongan berasal dari kontraktor, bukan dari PT PHK,” imbuh Daniel.
Kecurigaan dan kekecewaan Daniel bersama rekan-rekannya semakin memuncak saat mengetahui bahwa Kepala Rombongan yang diduga juga turut memanipulasi harga kebutuhan pokok yang mereka beli sehari-hari.
“Saya sudah survey di pasar desa ya, yang lokasinya cukup jauh, disitu misal harga lombok sekilo Rp 40 ribu, nah kalau beli melalui Kepala Rombongan, bisa jadi Rp 50 ribu, dinaikin lagi harganya sama dia, rokok dan lain-lain juga sama begitu, tidak masuk akal harganya,” komentarnya.
Oleh karena itu ia dan rekannya yang lain memutuskan untuk melarikan diri dengan berjalan sejauh 20 kilometer pada hari Sabtu (6/5/23) dari lokasi kerja dan sempat menginap serta meminta bantuan warga desa setempat.
Setelah itu ia berjalan kembali sejauh 80 kilometer dan merasa sudah lelah, akhirnya terdampar di jalan raya dan menemukan sebuah truk yang diketahui juga ingin melakukan perjalanan ke Kota Samarinda untuk membeli bahan-bahan pokok.
Sesampainya di Kota Samarinda pada hari Selasa (9/5/23), Daniel dan rekan-rekannya diturunkan di Pelabuhan Kota Samarinda, setelah itu ia melapor di Polsek Kawasan Pelabuhan Samarinda karena bingung lantaran tak memiliki uang, tempat tinggal sementara dan juga dalam kondisi perut yang sangat lapar.
Hal tersebut ditambah menjadi semakin runyam lantaran semua identitas yaitu KTP Daniel dan rekan-rekannya masih berada di pihak perusahaan.
“Dari situ kami diarahkan ke Dinas Sosial Kota Samarinda, setelah ditanya-tanya sama pihak Dinsos, akhirnya kami ditampung sementara di Rumah Singgah Terpadu (RST) ini. Bersyukur dari Pemerintah Kota Samarinda masih mau membantu kami semua karena sudah sangat bingung sekali ini,” jelas Daniel kembali.
Di tempat terpisah, Kepala Dinas Sosial & Pemberdayaan Masyarakat (Dinsos PM) Kota Samarinda, Isfihani mengatakan sangat prihatin atas nasib yang dialami oleh para perantau tersebut.
Menurutnya praktik-praktik seperti ini harus disikapi dengan menelusuri lebih lanjut fakta yang terjadi di lapangan antara pihak perusahaan dan juga tenaga kerja.
“Sangat prihatin, mereka ini niatnya mau cari kerja untuk cari nafkah, namun jika ternyata cerita yang disampaikan oleh para perantau tersebut benar dan tidak dilebih-lebihkan, maka harus ditelusuri lebih lanjut oleh instansi yang berwenang agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Dari kami pihak Dinsos sementara ini hanya bisa membantu dengan menampung sementara di RST,” paparnya.
Ditanya perihal bantuan selain tempat tinggal sementara di RST, pihak Dinsos PM Kota Samarinda juga memberikan bantuan berupa konsumsi untuk ke 16 pekerja tersebut selama tiga kali sehari.
“Ini masih kami bantu biaya konsumsinya, 1 orang sudah dikembalikan ke keluarganya di Sumatera, jadi sisa 16 orang yang berada di RST. Alhamdulillah masih bisa bantu makan tiga kali sehari, nanti ke depannya akan kita koordinasikan lagi dengan semua pekerja yang ada mereka mau kemana, karena tidak mungkin juga jika terlalu lama berada di RST, sedangkan anggaran di RST itu setahun hanya bisa memenuhi kebutuhan 7 orang,” tutup Isfihani. (RYAN)
Editor : Risa Busam,ID